Memisahkan keuangan keluarga dan bisnis

Suatu hari saya ditanya oleh salah seorang ibu, peserta mentoring dari sebuah LSM. Wajahnya terlihat sedang menghadapi masalah. Pertanyaannya adalah “Mas, bisnis saya penjualannya per bulan bisa mencapai 10 juta. Namun, saya sampai sekarang tidak melihat uang dari untung saya. Usahanya tetap jalan, tetapi seperti jalan di tempat. Sampai sekarang saya belum bisa merekrut pegawai.”

Sebelum menjawab pertanyaannya, saya bertanya terlebih dahulu. “Apakah ibu sudah digaji oleh perusahaan ibu?”

Beliau pun menjawab, “Belum. Saya kalau butuh ya ambil dari dompet usaha.”

“Kalau uangnya diambil terus, tidak ada batasnya, bagaimana usaha ibu bisa berkembang? Makanya ibu sebaiknya menggaji diri sendiri.”

“Tapi mas, kebutuhan saya banyak. Kadang ada arisan, PKK, uang sekolah anak dan uang jajan.”

“Maka ibu hitung semua kebutuhan ibu. Pastikan ibu menentukan angka kecukupannya, besaran kecukupan itu. Jangan sampai ibu menggaji diri sendiri kurang dari angka kecukupan itu.”

Saya yakin kisah ibu tadi, tidak sedikit yang mengalaminya. Apa yang dilakukan ibu tadi tidak hanya pada perusahaan ultra-mikro, bahkan di perusahaan kecil, menangah maupun besar. Keuangan usaha dan keluarga masih campur jadi satu.

Uang Perusahaan itu milik perusahaan

Walaupun Anda adalah pemilik perusahaan Anda, uang perusahaan bukanlah milik Anda. Sehingga Anda tidak bisa seenaknya mengambil dari laci perusahaan. Anda bisa saja mengambil, tetapi akad atau pencatatannya harus jelas.

Apakah akadnya adalah Anda hutang dari perusahaan? Apakah itu Anda mengambil prive atau sebagian modal yang ditanam di perusahaan? ataukah Anda mengambil deviden dari bagi hasil keuntungan perusahaan? Ataukah itu memang gaji Anda, sehingga Anda berhak mengambilnya?

Walaupun di perusahaan itu, hanya Anda yang bekerja. Kalaupun Anda adalah pemilik, direktur, manager, supervisor, tukang sapu dan karyawan, uang perusahaan tidak boleh diambil dengan seenaknya.

Bagi perusahaan, uang adalah darahnya perusahaan. Tanpa ada uang, perusahaan tidak bisa bergerak. Padahal uang yang ada di perusahaan itu belum tentu uang dari laba, bisa jadi itu adalah uang modal, uang pre-order pelanggan atau kah uangnya pemasok (supplier).

Perusahaan bangkrut bukan karena rugi, tetapi karena kehabisan uang (cash)

Rugi itu tidak bisa membuat perusahaan bangkrut. Contohnya adalah perusahaan-perusahaan yang katanya unicorn itu kebanyakan masih rugi. Padalah kerugiannya sudah bertahun-tahun.

Ternyata mereka tidak bangkrut karena masih ada investor dan ownernya yang terus menambahkan modal. Istilah kerennya sekarang adalah bakar duit. Owner dan investor berharap perusahaan untung besar di masa depan. Sehingga harga sahamnya naiki.

Bagaimana dengan perusahaan Anda? Jika perusahaan Anda masih sangat kecil, Andalah ownernya. Andaikan uang perusahaan habis, mau tidak mau Anda harus menambahkan modal lagi. Perusahaan yang tidak ditambah modalnya, berarti perusahaan itu bangkrut, tidak bisa beroperasi.

Laba tidak seluruhnya untuk owner

Laba bersih sekalipun sebaiknya tidak diambil keseluruhan oleh owner. Apalagi kalau itu hanya laba kotor. Perusahaan yang tidak pernah bisa memanfaatkan labanya tidak akan bisa bertumbuh.

Laba itu dimanfaatkan untuk bertumbuh, yaitu menambah karyawan, mesin, memperluas tempat usaha, meningkatkan penjualan, dana darurat, dana cadangan operasional dan lain sebagainya. Besarnya omset maupun laba tidak serta merta untuk foya-foya, tetapi untuk semua itu. Hati-hati dengan laba, tidak semuanya untuk owner.

Cara memisahkan keuangan bisnis dan keluarga

Mau tidak mau, Anda harus pisahkan keuangan bisnis dan keluarga. Walaupun perusahaan Anda masih perseorangan atau CV sekalipun, maka pisahkan. Apalagi jika perusahaan Anda berbadan hukum PT, maka harus terpisah.

  • Pisahkan dompet dan rekening!
  • Gaji diri Anda!
  • Disiplin pencatatan
  • Laporan keuangan sesuai PSAK
  • Uang “halal” lainnya untuk owner

Mari kita bahas satu persatu.

1. Pisahkan dompet dan rekening!

Langkah paling fundamental adalah dengan memisahkan tempat penyimpanan uangnya, dompet dan rekening di bank. Walaupun di bank masih atas nama Anda, bukan nama perusahaan, yang penting dipisah. Sehingga Anda tidak khawatir ketika mau mengambil uang dari dompet atau rekening sendiri.

2. Gaji diri Anda!

Anda berhak mendapatkan gaji walaupun hanya Anda yang bekerja di perusahaan Anda sendiri. Besaran gajinya bisa bertahap menyesuaikan “angka kecukupan” kebutuhan keluarga Anda. Besaran gaji yang lebih kecil dari “angka kecukupan” membuat keluarga Anda susah.

Maka jadikan “angka kecukupan” penghasilan Anda menjadi dasar perhitungan target omset dan laba di perusahaan. Seandainya Anda membutuhkan gaji Rp 2 juta, maka membutuhkan laba bersih berapa dan target penjualan (omset) berapa. Sehingga Anda bisa mengejar standar minimal itu.

Jika perusahaan masih belum mampu menggaji tetap, Anda boleh menganggarkan gaji dengan cara komisi dari penjualan. Misalnya 15% dari penjualan. Anda berhak mendapatkan komisi 15% untuk diri Anda. Selebihnya kembalikan kepada perusahaan.

buku keluarga bebas hutang

Keluarga Bebas Hutang

Agar hidup lebih bahagia dan damai tanpa hutang

3. Disiplin pencatatan!

Melakukan pencatatan keuangan adalah dasar dari manajemen keuangan. Dengan mencatat, berarti Anda bisa membuat analisa sebagai dasar keputusan. Selain itu Anda juga jadi paham “history” aktifitas bisnis Anda. Apalagi kalau Anda terpaksa berhutang kepada perusahaan Anda sendiri.

Anda boleh berhutang ke perusahaan, syaratnya dicatat dan segera dikembalikan! Jikat tidak segera dikembalikan, perusahaan Anda bisa kehabisan uang (cash). Ingat, perusahaan bangkrut bukan karena rugi, tetapi karena kehabisan cash.

4. Laporan keuangan sesuai PSAK

Jika perusahaan sudah mampu membayar seorang akuntan, Anda sebaiknya segera membuat laporan keuangan sesuai PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan). Anda tidak harus mempunyai karyawan akuntan tetap di perusahaan Anda, cukup menggunakan jasa dari Kantor Jasa Akuntansi (KJA). Anda juga bisa merekrut pekerja lepas (freelance) untuk membuatkan laporan keuangan.

Mengapa laporan keuangan yang sesuai PSAK? Karena akuntansi adalah bahasa bisnis. Anda tidak bisa memahami bisnis Anda sendiri jika tidak paham bahasa bisnis. Sehingga Anda bisa memutuskan sesuatu dalam kondisi benar-benar paham bisnis Anda. Perusahaan yang sudah sesuai laporan keuangannya dengan PSAK maka bisa dikatakan sudah benar-benar terpisah keuangannya dengan pribadi atau keluarga.

5. Uang “halal” untuk owner

Lalu ada yang bertanya, “Mas, jadi saya jadi pengusaha tapi kok tetap jadi orang gajian?”

Tenang, selain gaji, Anda sebagai owner juga bisa mendapatkan penghasilan lain. Anda bisa ambil uang sewa dan juga deviden dari perusahaan Anda. Uang sewa bisa berupa sewa kendaraan, tempat usaha, mesin dan lain-lain. Tentunya dengan itu semua milik Anda, bukan milik perusahaan. Dan jangan sampai memberatkan perusahaan Anda.

. . .

Jadi Anda sudah paham tentang mengapa harus memisahkan keuangan keluarga dengan perusahaan. Saatnya Anda aplikasikan dengan tips atau cara memisahkannya. Selamat berusaha

Allahu a’lam bisshowab

Tinggalkan komentar yuk