Tahun 2009 saya adalah salah satu yang mencak-mencak ketika harga tiket kereta api ekonomi naik dari 20 ribuan menjadi 150 ribuan. Maklum, waktu itu saya harus sering bolak-balik Jogja – Surabaya. Saya masih kuliah dan diutus untuk buka pasar herbal di sana.
Tahun itu adalah tahun dimana Pak Ignasius Jonan mulai menjabat menjadi Direktur Utama PT. KAI (Kereta Api Indonesia). Berbeda dengan direktur-direktur sebelumnya yang menguasai perkereta-apian, latar belakang Pak Jonan malah seorang bankir.
Pada 2008, PT. KAI melaporkan bahwa mengalami kerugian sebesar Rp 80 miliar. Lalu setahun dipegang beliau, 2009, membukukan pendapatan Rp 4,2 triliun dan profit Rp 83 miliar. Kemudian pada akhir masa jabatannya, tercatat pendapatannya naik menjadi Rp 14 triliun dan profitnya Rp 1,3 triliun.
Tiga bulan pertama adalah yang paling sulit. Karena masalah-masalah di PT. KAI sudah sistemik mendarah daging. Pak Jonan tidak memulai dengan menata jalur-jalur rel, jadwal, merubah aturan atau yang lainnya. Justru beliau memulainya dari toilet.
“Saya beri waktu tiga bulan, kalau semua toilet di stasiun enggak bisa beres, saya tutup semua. Saya tutup semua toilet, termasuk toilet saya dan milik kalian. Kita pakai saja toilet umum, enggak mau tahu saya.”
Kompas, 2021
Pak Jonan sempat turun langsung ke bawah. Blusukan untuk melihat langsung masalah dan mencari sumber masalahnya. Bahkan beliau harus tidur di gerbong karena kelelahan turun ke lapangan.
Setelah tahu berbagai masalah dan sumbernya, beliau segera masuk ke pareto masalahnya, yaitu SDM dan sistemnya. Ada dua point penting di SDM, yaitu 40% SDM adalah lulusan SD dan sistem penggajian yang tidak layak.
Pejabat kepala stasiun yang paling senior di PT. KAI waktu itu hanya bergaji THP (Take home pay) Rp 2,7 juta. Sehingga penghasilannya tidak mencapai Rp 100 ribu per hari. Itu selevel kepala stasiun, apalagi yang di bawah-bawahnya mestinya kurang dari itu.
Pak Ignacius Jonan kemudian perbaiki dua hal itu. Beliau naikkan penghasilan karyawan PT. KAI sekaligus keterampilannya. Sehingga gaji THP Kepala Stasiun bisa 20 – 30 juta.
Orang-orang (red: karyawan) yang baik tadi tidak akan ada perubahan jika sistemnya masih buruk. Sistem yang buruk akan membuat orang yang baik menjadi tidak baik. Seperti munculnya korupsi, antrean panjang, menjamurnya calo, kotor, keterlambatan kereta dan lain-lain.
Contoh kecil dalam sistem yang diubah adalah memberi nomor tempat duduk, pemesanan tiket dengan online dan masih banyak lagi. Perbaikan SDM dan sistem itu pada akhirnya membuat ratusan wartawan di Indonesia harus kecewa. Pada lebaran tahun 2012, mereka tidak bisa menemukan antrian berjubel di stasiun untuk difoto. Di tahun itu pulalah PT. KAI membukukan keuntungan Rp 300 miliar.
Jangan buru-buru salahkan tim Anda, mungkin mereka tidak salah, tetapi sistemnya yang buruk. Sebuah sistem yang buruk, mengalahkan 1 orang baik setiap hari. Semakin lama sistem buruk itu dibiarkan, semakin banyak OKNUM yang buruk di bisnis Kamu.
Mungkin benar kata Joker
“OKNUM itu berasal dari orang baik yang kalah oleh SISTEM BURUK.”
eh… bener gak kalimatnya?
Wallahu a’lam
Tulisan yang mencerahkan pak. Sistem yg baik, sulitnya adalah saat membangunnya pertama kali. Pasti oleh good person.
Yes. Betul.. dan good person yang paling pertama adalah ownernya. Kebanyakan owner mengira sistem itu rumit, mahal dan dikira aplikasi IT.. jadi sering ditunda-tunda membangunnya. Padahal enggak. Mumpung bisnisnya masih kecil, bisa dimulai dari dini. Mulai saja bikin activity check list dulu